Ular naga panjangnya bukan kepalang

Menjalar jalar selalu kian kemari

Umpan yang besar itulah yang di cari

Ini dia lah yang terbelakang.....

Permainan tradisional sangatlah populer sebelum teknologi masuk ke Indonesia. Dahulu, anak-anak bermain dengan menggunakan alat yang seadanya. Namun kini, mereka sudah bermain dengan permainan-permainan berbasis teknologi yang berasal dari luar negeri dan mulai meninggalkan mainan tradisional. Seiring dengan perubahan zaman, pPermainan tradisional perlahan-lahan mulai terlupakan oleh anak-anak Indonesia. Bahkan, tidak sedikit dari mereka yang sama sekali belum mengenal permainan tradisional.


Permainan tradisional sesungguhnya memiliki banyak manfaat bagi anak-anak. Selain tidak mengeluarkan banyak biaya, permainan –permainan tradisional sebenarnya sangat baik untuk melatih fisik dan mental anak. Secara tidak langsung, anak-anak akan dirangsang kreatifitas, ketangkasan, jiwa kepemimpinan, kecerdasan, dan keluasan wawasannya melalui permainan tradisional. Para psikolog menilai bahwa sesungguhnya mainan tradisional mampu membentuk motorik anak, baik kasar maupun halus. Salah satu permainan yang mampu membentuk motorik anak adalah dakon. Motorik halus lebih digunakan dalam permainan ini. Pada permainan ini pemain dituntut untuk memegang biji secara utuh sembari meletakkannya satu-satu di kotakkannya dengan satu tangan.


Selain itu, permainan tradisional juga dapat melatih kemampuan sosial para pemainnya. Inilah yang membedakan permainan tradisional dengan permainan modern. Pada umumnya, mainan tradisional adalah permainan yang membutuhkan lebih dari satu pemain. Permainan galasin misalnya. Kemampuan sosial sangat dilatih pada permainan ini. Inti permainannya adalah menghadang lawan agar tidak bisa lolos melewati garis ke baris terakhir secara bolak-balik, dan untuk meraih kemenangan seluruh anggota grup harus secara lengkap melakukan proses bolak-balik dalam area lapangan yang telah ditentukan. Pada permainan trdisional kemampuan anak untuk berempati dengan teman, kejujuran, dan kesabaran sangat dituntut dalam mainan tradisional. Hal ini sangat berbeda dengan pola permainan modern. Kemampuan sosial anak tidak terlalu dipentingkan dalam permainan modern ini, malah cenderung diabaikan karena pada umumnya mainan modern berbentuk permainan individual di mana anak dapat bermain sendiri tanpa kehadiran teman-temannya. Sekalipun dimainkan oleh dua anak, kemampuan interaksi anak dengan temannya tidak terlalu terlihat. Pada dasarnya sang anak terfokus pada permainan yang ada di hadapannya. Mainan modern cenderung bersifat agresif, sehingga tidak mustahil anak bersifat agresif karena pengaruh dari mainan ini.


Permainan tradisional biasanya dibuat langsung oleh para pemainnya. Mereka menggunakan barang-barang, benda-benda, atau tumbuhan yang ada di sekitar para pemain. Hal itu mendorong mereka untuk lebih kreatif menciptakan alat-alat permainan. Selain itu, permainan tradisional tidak memiliki aturan secara tertulis. Biasanya, aturan yang berlaku, selain aturan yang sudah umum digunakan, ditambah dengan aturan yang disesuaikan dengan kesepakatan para pemain. Di sini juga terlihat bahwa para pemain dituntut untuk kreatif menciptakan aturan-aturan yang sesuai dengan keadaan mereka.


Meskipun permainan tradisional sudah jarang ditemukan, masih ada beberapa anak-anak Indonesia di daerah-daerah terpencil yang memainkan permainan ini. Bahkan, permainan tradisional juga digunakan oleh para psikolog sebagai terapi pengembangan kecerdasan anak. Melihat banyaknya manfaat yang ada dalam permainan tradisional, tidak ada salahnya jika kita melestarikan dan memperkenalkan kembali permainan tradisional kepada generasi muda Indonesia dan dunia sebagai bentuk kepedulian anak bangsa kepada warisan budaya Indonesia.

Jumat, 15 April 2011

JARANAN




Jaranan, jaranan, jarane, jaran teji
sing nunggang dara Bei
sing ngiring para mantri
jret-jret nong
jret-jret gung
srek-srek turut lurun
gedebug krincing, gedebug krincing
prok, prok, gedebug jedher


Mungkin terinspirasi terhadap hewan kuda (bahasa Jawa: jaran) sebagai binatang tunggangan, maka anak-anak di masyarakat Jawa menciptakan sebuah dolanan anak yang disebut jaranan ‘kuda-kudaan’. Bentuk, gambar, dan hiasan-hiasannya memang dibuat menyerupai hewan kuda. Akhirnya mainan itu biasa disebut jaranan.

Hampir di setiap daerah di wilayah Jawa mengenal dolanan khas ini. Hingga sekarang masih banyak dijumpai dolanan model ini di berbagai pelosok wilayah Jawa, khususnya apabila ada pasar malam, pertunjukan wayang kulit, pasar-pasar tradisional, cembengan, sekaten, atau pertunjukan tradisional lain saat perayaan merti dhusun (nyadran). Seni tradisional Jawa bahkan ada pula yang memakai jaranan sebagai salah satu alat untuk pertunjukannya, misalnya Jathilan. Hanya saja, bentuk dan ukurannya lebih besar, sesuai dengan postur orang dewasa.




Kamus (Baoesastra) Jawa karya W.J.S. Poerwadarminto terbitan Groningen Batavia tahun 1939 halaman 82 pun telah mencatat istilah jaranan sebagai salah satu bentuk dolanan anak di masyarakat Jawa. Dalam kamus itu diterangkan bahwa jaranan adalah bentuk suatu dolanan ‘permainan’ yang menyerupai jaran ‘kuda’. Berarti memang sebelum tahun 1939, jaranan sudah menyebar di masyarakat Jawa sebagai salah satu bentuk permainan yang sering digunakan oleh anak-anak.

Jaranan biasanya dibuat dari bahan gedheg ‘dinding bambu’ yang dibentuk menyerupai jaran ‘kuda’. Selesai dibentuk menyerupai kuda, dibingkai dengan belahan bambu di semua pinggirnya. Juga digambari dengan cat atau sejenisnya sehingga terlihat gambar kuda. Tidak lupa dihiasi dengan rumbai-rumbai di sekitar leher dengan rafia. Ukuran untuk anak-anak biasanya tidak lebih dari 40 cm (tinggi) dan 100 cm (panjang). Namun begitu, untuk bahan yang lebih sederhana, biasanya jaranan dibuat dari pelepah daun pisang. Setelah daunnya dibuang, pelepah dierati beberapa bagian lalu dibentuklah menyerupai jaranan. Lalu diberi tali di bagian kepala dan ekor. Tali tersebut dikalungkan di leher anak yang bermain jaranan ini.





Di beberapa daerah, seperti di Kulon Progo, seperti yang pernah dijumpai oleh Tembi, jaranan dibuat dari bahan ‘bonggol’ bambu. Bonggol bambu ini dibuat menyerupai kuda dan dimodifikasikan dengan kayu lain yang digunakan sebagai tubuh kuda-kudaan. Jadilah dolanan yang disebut jaranan. Ada pula yag dibuat dari kayu dengan kepala mirip kuda dan bagian tubuh dibuat bergoyang, sehingga anak-anak bisa duduk dan bermain di atasnya. Kiranya yang disebut terakhir ini adalah mainan
inovasi baru, yang dulu belum dikenal.




Bahkan hingga saat ini masih banyak pula di masyarakat Jawa yang melestarikan seni tradisi Jathilan. Seni tradisi ini sering pula disebut kuda lumping karena menggunakan media utama berupa jaranan. Hanya ukuran jaranan ini lebih besar sesuai dengan postur orang dewasa yang memainkan. Dalam seni tradisi Jathilan biasanya sudah dilengkapi dengan tabuhan musik tradisional dan seringkali dipertontonkan dalam berbagai acara, seperti festival, pasar malam, penyambutan tamu, upacara tradisi, dan sebagainya.



Anak-anak yang bermain jaranan bisa sendirian atau bisa pula berkelompok dengan teman-temannya. Saat ini, dalam bermain jaranan, biasanya anak-anak tampil dalam acara festival.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar